Senin, 11 Agustus 2008

who governs 2

Ketika soal jaksa tengik itu ramai di media.., maka anda berhak untuk merasa sangat muak dan jijik melihat sistem peradilan di negara kita. Semua serba pura-pura. Semua melihat kekuasaan sebagai alat yang paling ampuh untuk mengeruk keuntungan pribadi.., menjungkirbalikan rasa keadilan di masyarakat.., bahkan melukainya !!. Dengan memanfaatkan ketakutan seseorang yang awam mengenai hukum.., maka seorang jaksa atau hakim akan dianggap seperti dewa diatas angin yang disitulah nasib seseorang akan ditentukan olehnya. Hukuman sekian tahun bagi mereka rasanya masih seharusnya ditebus dan ditambah dengan hukuman untuk menyembuhkan ganti rugi material maupun immaterial bagi sekian puluh juta rakyat Indonesia yang sengsara bahkan mati oleh ulahnya. Sialnya.., yang dianggap sebagai bos atau biang dari semua ini malah lagi ketawa-ketiwi di Singapura yang melihat bahwa peradilan di Indonesia bahkan tidak sanggup menyentuh bayangan dari bos itu. Jangankan penjara.., bahkan hukum dan hakim di Indonesia tak mampu sentuh diriku. Begitu mungkin engkoh itu bilang..

Mungkin tidak sekarang saja anda merasa muak dan jijik melihat tingkah saudara-saudara kita sendiri yang dengan tega membunuh semua rasa keadilan dan kebenaran yang selalu disuarakan oleh nurani bangsa kita. Atau mungkin bagi sebagian anda yang sudah sangat kebal mendengar jeritan nurani anda sendiri.., karena merasa tidak mampu berhadapan dengan struktur kekuasaan (baik di hadapan kekuasaan ekonomi yang dikuasai minoritas dari saudara kita atau kekuasaan hukum dan peradilan yang dengan bangganya menikmati perasaan superioritas atas keawaman masyarakat ).., maka sudah saatnya kita pertajam nurani kita untuk selalu menyuarakan kebenaran. Biarkan rasa kebenaran dan keadilan masyarakat ini yang menjadi 'driving force' akan adanya perubahan di dunia ini.

Bahwa sistem bikinan manusia yang mengatasnamakan sebagai pemerintah tidak akan dapat steril, dan akan cenderung memihak kepada mereka yang memiliki akses lebih besar. Bahwa sistem bikinan manusia di dunia ini pasti tidak bisa sempurna utuk suatu ukuran rasa keadilan. Konyolnya.., mereka yang miskin, bodoh, lemah , katrok dan tidak punya akses (politik/ ekonomi/ hukum) akan selalu menjadi mangsa mereka yang kita anggap selama ini sebagai bijaksana dan melindungi kita. Kenapa anda tidak berusaha mempertajam untuk mendengar jeritan nurani anda.., dan nurani bangsa kita yang selalu meneriakkan keadilan. Biarlah kekuatan nurani itu yang memimpin bangsa dan dunia ini. Betapa bodohnya kita kalo masih menganggap bahwa sistem bikinan manusia ini sudah benar. Betapa bodohnya bila anda menganggap bahwa sistem yang sudah mapan ini akan berpihak pada anda. Bodoh sekali !

Sabtu, 26 Juli 2008

absen

Sorri.., lama absen. lagi kerjain thesis.
I'll be back.

Senin, 31 Maret 2008

Pidato Pengukuhan DR HC WS Rendra : Kalatida yang Berkepanjangan ; Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu (3)

TATA Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini masih meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu, yang sama-sama menerapkan keunggulan Daulat Pemerintah di atas Daulat Rakyat, dan juga sama-sama menerapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika, dengan sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika bangsa, bahkan malah mendorong para kuasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupannya.
Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari Pancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang Madura, pembunuhan terhadap Marsinah, Udin, Munir, dan pembunuhan-pembunuhan yang lain lagi.Para buruh Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan diharu biru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan, tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan.Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untuk melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan olah limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak kepada kepentingan majikan pabrik.Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada implementasinya di dalam undang-undang pelaksanaan. KUHP, yang berlaku adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tidak punya dasar etika.
Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka, karena Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum diremehkan, maka hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotnya etika bangsa.Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan memperbaiki kenyataan adanya gap antara ius dan lex, maka “Kalatida” akan berlaku berkepanjangan dan masuklah kita ke alam “Kalabendu”. Ah, gejala-gejala bahkan menujukkan bahwa “Kalabendu” sudah menjadi kenyataan. Inilah zaman kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahat dipuja, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Pepatah “mikul duwur mendem jero” sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti makna menjadi: kalau anda berkuasa dan perkasa maka berdosa boleh saja!Hukum, perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal sehat, dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa, sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi. Jadi sangat penting segera para ahli hukum membahas dan meninjau kembali mutu kegunaan tata hukum dan tata negara Republik Indonesia dalam menyejahterakan kehidupan berbangsa.
Bahkan menurut DR. Sutanto Supiadi ahli tata negara dari Surabaya berpendapat, bahwa redesigning konstitusi sangat diperlukan. Kenyataan memang menunjukkan bahwa setiap ada amandemen untuk membatasi kekuasaan presiden, tidak menghasilkan daulat rakyat yang lebih nyata, melainkan hanya menghasilkan daulat partai-partai yang lebih kuat.Bahkan, dalam proklamasi kemerdekaan dan UUD’45 yang asli, wilayah Republik Indonesia itu jelas ditunjukkan. Lalu pada amandemen ke empat, disebutkan munculnya pasal 25a, yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.Tidak ada perkataan maritim di dalam rumusan itu. Nama negara pun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan. Jadi lebih tepat kalau nama negara kita adalah Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.Negara kita adalah negara satu-satunya di dunia yang memiliki laut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi negara kita mempunyai Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Namun toh ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan. Inikah mental petani?Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard”, padahal ini persyaratan Internasional, agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan kita, maka kita harus mempunyai “Sea and Coast Guard”. Dunia International tidak mengakui Polisi Laut dan Angkatan Laut sebagai pengamanan laut di saat damai. Angkatan Laut, Polisi Laut itu dianggap alat perang. Jadi apa sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” yang berguna bagi negara dan bangsa? Apakah ini menyinggung kepentingan rezeki satu golongan? Tetapi kalau memang ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak akan kurang akal untuk mencari “win-win solution”.Dalam soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan, pendirian beberapa mercu suar lagi, dan mengumumkan claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas wilayah negara kita, terutama yang menyangkut wilayah di laut. Sudah saatnya pula lembaga inteligent kita mempunyai direktorat maritim. Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, disegenap bidang, mencakup pengertian “Tanah Air”, dan tidak sekedar “Tanah” saja.Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai “Negara Pelabuhan” yang dipimpin oleh “Syahbandar” yang berijazah international. Kemudian segera pula dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, maka negara kita tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka!Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untuk pertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Nederlans Indie, dan sifat kedaulatannya negara maritim dengan batas-batas dan mercusuar-mercusuar yang jelas petanya.Jadi Van Der Capllen tidak sekadar mengandalkan kekuatan angkatan laut untuk mempersatukan Nusantara, melainkan, alat politik untuk menyatukan Nusantara adalah tata hukum dan ketatanegaraan maritim.Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan menteri luar negari Mochtar Kusumaatmaja, yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia Internasional, sehingga diakui oleh Unclos dan PBB.
Tetapi kita harus tanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita mampu mengimplementasikan semua peraturan kelautan internasional yang telah kita ratifikasi. Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijazah internasional untuk syahbandar dan nahkoda, belum juga mendapatkan izin dari Departement Pendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.Tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang sableng seperti tersebut di atas itulah yang mendorong lahirnya “Kalatida” dan “Kalabendu” di negara kita.Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap waspada, tidak mengkompromikan akal sehat. Dan juga harus sabar tawakal. Adapun “Kalasuba” pasti datang bersama dengan ratu adil.Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya “Kalasuba”. Pertama, “Kalasuba” pasti akan tiba karena dalam setiap chaos secara “build-in” ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani, sosial, rohani, intelektual dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan, bahwa setelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu di tempat lain dan di saat lain.Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekadar sabar dan tawakal. Tetapi toh kita tidak menghendaki “Kalasuba” yang dikuasai oleh diktator. Tidak pula yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta bangsa. Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil, tetapi tergantung pada Hukum yang Adil, Mandiri, dan Terkawal

Pidato Pengukuha n Doktor HC WS Rendra : Pembangunan Melupakan Rakyat Kecil ; Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu (2)

Ketergantungan pada modal asing, pinjaman dari negeri-negeri asing dan bantuan-bantuan asing, menyebabkan pemerintah kita, dari sejak zaman Orde Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian dan pangan dari lembaga-lembaga asing dan perusahaan-perusahaan multi nasional.
Dengan kedok “Revolusi Hijau” kekuatan asing bisa meyakinkan bahwa kita harus meningkatkan swadaya pangan. Dan tanpa ujung pangkal akal sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan itu pada intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dari Sabang sampai Merauke beras menjadi makanan utama, dan tanah dari Sabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Dan solusi yang diambil untuk mengatasi kenyataan bahwa tanah yang bisa ditanami padi itu terbatas, maka para pakar asing menasihati agar ada intensifikasi pertanian padi, artinya: imporlah bibit padi hibrida! Bibit asli terdesak dan akhirnya hampir punah. Bibit hibrida perlu pupuk. Didirikanlah pabrik pupuk dengan pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beurat yang lama kelamaan tanah menjadi bantat.Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailah berbagai racun: Pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisida untuk membunuh cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida untuk membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang ada di sela taman dan dianggap mengganggu. Sebenarnya gulma adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa disingkirkan secara sementara dengan disiangi. Tetapi kalau ditumpas dengan herbisida maka akan lenyaplah gulma selam-lamanya. Artinya rusaklah ekosistem. Dan pada hakikatnya herbisida itu berbahaya untuk semua organisme dan makhluk.Beberapa ahli pertanian bersih hati mengatakan bahwa intensifikasi pemakaian pestisida, fumisida, dan herbisida ini menyebabkan agrikultur kehilangan “kultur” dan berubah menjadi “agrisida” atau “ agriracun”.Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini pada akhirnya masuk ke tanah dan meracuni air tanah. Sehingga penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan-perkebunan mengalami cacat badan dan melahirkan bayi-bayi cacat.Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan naik tinggi karena padi hibrida menuntut peningkatan jumlah pemakaian pupuk, secara lama kelamaan.
Mahalnya biaya produksi padi dan rusaknya tanah ini yang mendorong kita tergantung pada impor bahan makanan. Maksud hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justru ketergantungan pangan.Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan kita, serta eksploitasi modal alam dengan serakah sebelum kita menguasai pengadaan mesin-mesin berat, modal nasional yang kuat, dan cukup tenaga spesialis, yang juga menusuk alam lingkungan, adalah tanggung dari begawan-begawan ekonomi dan begawan-begawan pembangunan di zaman Orde Baru yang masih berkelanjutan sampai sekarang adalah salah satu faktor “Kalabendu” yang kita hadapi saat ini.
Sama beratnya dengan korupsi dan pelanggaran terhadap hak azazi.Pembangunan dalam negara kita juga melupakan sarana-sarana pembangunan rakyat kecil dan menengah kecil. Padahal mereka adalah tulang punggung yang tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa. Jumlahnya mencapai 45 juta dan bisa menampung 70 juta tenaga kerja. Sedangkan sumbangannya pada Gross National Product adalah 62%. Lebih banyak dari sumbangan BUMN. Namun begitu tidak program pemerintah dengan positif membantu usaha mereka: Jalan-jalan darat yang menjadi penghubung antar desa, yang penting untuk kegiatan ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku selalu terbatas persediaannya. Banyak bank yang tidak ramah kepada mereka. Grosir-grosir mempermainkan dengan check yang berlaku mundur. Dan pemerintah tidak pintar melindungi kepentingan mereka dari permainan kartel-kartel yang menguasai bahan baku.
Dari sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil menengah itu sangat adaptif, kreatif, tinggi daya hidupnya, ulet daya tahannya. Di abad 7 mereka yang seni pertaniannya menanam jewawut, dengan cepat menyerap seni irigasi dan menanam padi serta beternak lembu yang dperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan. Selanjutnya mereka juga bisa menguasai seni menanam buah-buahan dari India semacam sawo, mangga, jambu, dsb. Bahkan pada tahun 1200, menurut laporan “Pararaton”, mereka sudah bisa punya perkebunan jambu. Begitu juga mereka cepat sekali menyerap seni menanam nila, bahkan sampai mengekspornya ke luar negeri. Begitu juga mereka adaptif dan kreatif di bidang kerajinan perak, emas, pertukangan kayu dan pandai besi, yang semuanya itu dilaporkan dalam kitab “Pararaton”.Di zaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat beradaptasi dengan tanaman-tanaman baru seperti kedele, ketan, wijen, soga, dsb. Dengan cepat mereka juga belajar membuat minyak goreng, krupuk, tahu, trasi, dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap. Bahkan dengan kreatif mereka menciptakan tempe. Di bidang kerajinan tangan dengan cepat mereka menyerap seni membuat kain jumputan, membuat genting dari tanah, membangun atap limasan, menciptaan gandok dan pringgitan di dalam seni bangunan rumah. Pendeknya unsur-unsur perkembangan baru dalam kebudayaan cita rasa dan tata nilai cepat diserap oleh rakyat banyak.Dan kemudian di zaman tanam paksa dan kerja paksa, ketika kehidupan rakyat di desa-desa sangat terpuruk, karena meskipun mereka bisa beradaptasi dengan tanaman baru seperti teh, kopi, karet, coklat, vanili, dsb. Tetapi mereka hanya bisa jadi buruh perkebunan atau paling jauh jadi mandor, tak mungkin mereka menjadi pemilik perkebunan; namun segera mereka belajar menanam sayuran baru seperti sledri, kapri, tomat, kentang, kobis, buncis, selada, wortel, dsb untuk dijual kepada “ndoro-ndoro penjajah” di perkebunan dan “ndoro-ndoro priyayi” di kota-kota. Akhirnya bencana menjadi keberuntungan. Petani-petani sayur mayur menjadi makmur.Dan sekarang meski mereka dalam keadaan teraniaya oleh keadaan dan tidak diperhatikan secara selayaknya oleh pemerintah, bahkan kini mereka digencet oleh kenaikan harga BBM, toh mereka tetap hidup dan bertahan. Kaki lima adalah ekspresi geliat perlawanan rakyat kecil terhadap kemiskinan. Luar biasa! Merekalah pahlawan pembangunan yang sebenarnya!Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi memperhatikan dan membela kemampuan mereka, menciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka, mereka adalah harapan kita untuk menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Pidato Pengukuhan Doktor Honoris Causa WS Rendra : Megatruh Kambuh ; Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu (1)

Penyair besar Ronggowarsito, di pertengahan abad 19, menggambarkan zaman pancaroba sebagai “Kalatida” dan “Kalabendu”.Zaman “Kalatida” adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.Zaman “Kalabendu” adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama mengkhianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.
Gambaran sifat dan tanda-tanda dari “Kalatida” dan “Kalabendu” tersebut di atas adalah saduran bebas dari isi tembang aslinya. Namun secara ringkas bisa dikatakan bahwa “Kalatida” adalah zaman edan, karena akal sehat diremehkan, dan “Kalabendu” adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.Lalu, menurut Ronggowarsito, dengan sendirinya, setelah “Kalatida” dan “Kalabendu” pasti akan muncul zaman “Kalasuba”, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran.Apa yang dianjurkan oleh Ronggowarsito agar orang bisa selamat di masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut dalam permainan gila. Sedangkan di masa “Kalabendu” harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di dalam kitab suciNya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa “Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu Adil.
Ternyata urutan zaman “Kalatida”, “Kalabendu”, dan “Kalasuba” tidak hanya terjadi di kerajaan Surakarta di abad ke 19, tetapi juga terjadi di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, yah di manapun, kapanpun. Begitulah rupanya irama “wolak waliking zaman” atau “timbul tenggelamnya zaman”, atau “pergolakan zaman”. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ronggowarsito ini!Republik Indonesia juga tidak luput dari “pergolakan zaman” serupa itu. Dan ini yang akan menjadi pusat renungan saya pagi ini.
Namun sebelum itu perkenankan saya mengingatkan bahwa menurut teori chaos dari dunia ilmu fisika modern diterangkan bahwa di dalam chaos terdapat kemampuan untuk muncul order, dan kemampuan itu tidak tergantung dari unsur luar. Hal ini sejajar dengan pandangan penyair Ronggowarsito mengenai “Kalasubo”. Kata Ratu Adil bukan lahir dari rekayasa manusia, tetapi seperti ditakdirkan ada begitu saja. Kesejajaran teori chaos dengan teori pergolakan zamannya Ronggowarsito menunjukkan sekali lagi ketazaman dan kepekaan mata batinnya.Melewati pidato ini saya persembahkan sembah sungkan saya yang khidmat kepada penyair besar Ronggowarsito.
Kembali pada renungan mengenai gelombang “Kalatida”, “Kalabendu” dan “Kalasuba” yang terjadi di Republik Indonesia.Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat, kapanpun dan di manapun, pada akhirnya akan tertumbuk pada “Mesin Budaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah aturan-aturan yang mengikat dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi. Dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada akibat. Semua usaha manusia dalam mengelola keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu.“Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan, adalah “Mesin Budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam negara. Tetapi “Mesin Budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahaya untuk daya hidup daya cipta bangsa.Di dalam masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diatur oleh hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat.
Jadi hirarki tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakat dan alam lingkungannya terlindungi di dalam lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraanDengan begitu kepentingan kekuasaan asing, yang politik ataupun yang dagang, tak bisa menjamah masyarakat dan alam lingkungannya tanpa melewati kontrol hukum adat, dewan adat dan penguasa pemerintahan.
Itulah sebabnya masyarakat serupa itu sukar dijajah oleh kekuasaan asing.Ditambah lagi kenyataan bahwa masyarakat dan alam lingkungan yang bisa hidup dalam harmoni baik berkat tatanan hukum yang adil, pada akhirnya akan melahirkan masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyat dan daulat manusia. Syahdan, rakyat yang berdaulat sukar dijajah oleh kekuasaan asing.Memang pada kenyataannya suku-suku bangsa di Indonesia yang kuat tatanan hukum adatnya, tak bisa dijajah oleh VOC. Dan juga sukar dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Suku-suku itu baru bisa ditaklukkan oleh penjajah pada abad 19, setelah orang Belanda punya senapan yang bisa dikokang, senapan mesin dan dinamit. Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada tahun 1905, Toraja 1910, Bali 1910 dan Ternate 1923 serta Ruteng 1928.Sedangkan pada suku bangsa yang masyarakat dan alam lingkungannya, tidak dilindungi oleh hukum adat, rakyatnya lemah karena tidak berdaulat, yang berdaulat cuma rajanya. Hukum yang berlaku adalah apa kata raja. Kekuasaan asing dan para pedagang asing bisa langsung menjamah masyarakat dan alam lingkungannya asal bisa mengalahkan rajanya atau bisa bersekutu dengan rajanya.Kohesi rakyat dalam masyarakat adat kuat karena bersifat organis. Itulah tambahan keterangan kenapa mereka sukar dijajah. Sedangkan kohesi rakyat dalam masyarakat yang didominasi kedaulatan raja semata sangat lemah karena bersifat mekanis. Karenanya rentan terhadap penjajahan. Begitulah keadaan kerajaan Deli, Indragiri, Jambi, Palembang, Banten, Jayakarta, Cirebon, Mataram Islam, Kutai, dan Madura. Gampang ditaklukkan oleh VOC. Sejak abad 18 sudah terjajah. Para penjajah bersekutu dengan raja, langsung bisa mengatur kerja paksa dan tanam paksa. “Kalatida” dan “Kalabendu” melanda negara.Ketika Hindia Belanda pada akhirnya bisa menaklukkan seluruh Nusantara, maka yang pertama mereka lakukan ialah dengan mengerosikan hukum adat-hukum adat yang ada. Para penjaga adat diadu domba dengan para bangsawan di pemerintahan sehingga dengan melemahnya adat, melemah pulalah perlindungan daulat rakyat dan alam lingkungannya.
Selanjutnya penghisapan kekayaan alam bisa lebih bebas dilakukan oleh para penjajah itu. Ketergantungan pada modal asing, pinjaman dari negeri-negeri asing dan bantuan-bantuan asing, menyebabkan pemerintah kita, dari sejak zaman Orde Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian dan pangan dari lembaga-lembaga asing dan perusahaan-perusahaan multi nasional.Dengan kedok “Revolusi Hijau” kekuatan asing bisa meyakinkan bahwa kita harus meningkatkan swadaya pangan. Dan tanpa ujung pangkal akal sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan itu pada intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dari Sabang sampai Merauke beras menjadi makanan utama, dan tanah dari Sabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Dan solusi yang diambil untuk mengatasi kenyataan bahwa tanah yang bisa ditanami padi itu terbatas, maka para pakar asing menasihati agar ada intensifikasi pertanian padi, artinya: imporlah bibit padi hibrida! Bibit asli terdesak dan akhirnya hampir punah. Bibit hibrida perlu pupuk. Didirikanlah pabrik pupuk dengan pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beurat yang lama kelamaan tanah menjadi bantat.Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailah berbagai racun: Pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisida untuk membunuh cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida untuk membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang ada di sela taman dan dianggap mengganggu. Sebenarnya gulma adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa disingkirkan secara sementara dengan disiangi. Tetapi kalau ditumpas dengan herbisida maka akan lenyaplah gulma selam-lamanya. Artinya rusaklah ekosistem. Dan pada hakikatnya herbisida itu berbahaya untuk semua organisme dan makhluk.
Beberapa ahli pertanian bersih hati mengatakan bahwa intensifikasi pemakaian pestisida, fumisida, dan herbisida ini menyebabkan agrikultur kehilangan “kultur” dan berubah menjadi “agrisida” atau “ agriracun”.Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini pada akhirnya masuk ke tanah dan meracuni air tanah. Sehingga penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan-perkebunan mengalami cacat badan dan melahirkan bayi-bayi cacat.Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan naik tinggi karena padi hibrida menuntut peningkatan jumlah pemakaian pupuk, secara lama kelamaan. Mahalnya biaya produksi padi dan rusaknya tanah ini yang mendorong kita tergantung pada impor bahan makanan. Maksud hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justru ketergantungan pangan.Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan kita, serta eksploitasi modal alam dengan serakah sebelum kita menguasai pengadaan mesin-mesin berat, modal nasional yang kuat, dan cukup tenaga spesialis, yang juga menusuk alam lingkungan, adalah tanggung dari begawan-begawan ekonomi dan begawan-begawan pembangunan di zaman Orde Baru yang masih berkelanjutan sampai sekarang adalah salah satu faktor “Kalabendu” yang kita hadapi saat ini. Sama beratnya dengan korupsi dan pelanggaran terhadap hak azazi.Pembangunan dalam negara kita juga melupakan sarana-sarana pembangunan rakyat kecil dan menengah kecil. Padahal mereka adalah tulang punggung yang tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa. Jumlahnya mencapai 45 juta dan bisa menampung 70 juta tenaga kerja. Sedangkan sumbangannya pada Gross National Product adalah 62%. Lebih banyak dari sumbangan BUMN. Namun begitu tidak program pemerintah dengan positif membantu usaha mereka: Jalan-jalan darat yang menjadi penghubung antar desa, yang penting untuk kegiatan ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku selalu terbatas persediaannya. Banyak bank yang tidak ramah kepada mereka. Grosir-grosir mempermainkan dengan check yang berlaku mundur. Dan pemerintah tidak pintar melindungi kepentingan mereka dari permainan kartel-kartel yang menguasai bahan baku.Dari sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil menengah itu sangat adaptif, kreatif, tinggi daya hidupnya, ulet daya tahannya. Di abad 7 mereka yang seni pertaniannya menanam jewawut, dengan cepat menyerap seni irigasi dan menanam padi serta berternak lembu yang dperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan. Selanjutnya mereka juga bisa menguasai seni menanam buah-buahan dari India semacam sawo, mangga, jambu, dsb. Bahkan pada tahun 1200, menurut laporan “Pararaton”, mereka sudah bisa punya perkebunan jambu. Begitu juga mereka cepat sekali menyerap seni menanam nila, bahkan sampai mengekspornya ke luar negeri. Begitu juga mereka adaptif dan kreatif di bidang kerajinan perak, emas, pertukangan kayu dan pandai besi, yang semuanya itu dilaporkan dalam kitab “Pararaton”.Di jaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat beradaptasi dengan tanaman-tanaman baru seperti kedele, ketan, wijen, soga, dsb. Dengan cepat mereka juga belajar membuat minyak goreng, krupuk, tahu, trasi, dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap. Bahkan dengan kreatif mereka menciptakan tempe.
Di bidang kerajinan tangan dengan cepat mereka menyerap seni membuat kain jumputan, membuat genting dari tanah, membangun atap limasan, menciptaan gandok dan pringgitan di dalam seni bangunan rumah. Pendeknya unsur-unsur perkembangan baru dalam kebudayaan cita rasa dan tata nilai cepat diserap oleh rakyat banyak.Dan kemudian di jaman tanam paksa dan kerja paksa, ketika kehidupan rakyat di desa-desa sangat terpuruk, karena meskipun mereka bisa beradaptasi dengan tanaman baru seperti teh, kopi, karet, coklat, vanili, dsb. Tetapi mereka hanya bisa jadi buruh perkebunan atau paling jauh jadi mandor, tak mungkin mereka menjadi pemilik perkebunan; namun segera mereka belajar menanam sayuran baru seperti sledri, kapri, tomat, kentang, kobis, buncis, selada, wortel, dsb untuk dijual kepada “ndoro-ndoro penjajah” di perkebunan dan “ndoro-ndoro priyayi” di kota-kota.
Akhirnya bencana menjadi keberuntungan. Petani-petani sayur mayur menjadi makmur.Dan sekarang meski mereka dalam keadaan teraniaya oleh keadaan dan tidak diperhatikan secara selayaknya oleh pemerintah, bahkan kini mereka digencet oleh kenaikan harga BBM, toh mereka tetap hidup dan bertahan. Kaki lima adalah ekspresi geliat perlawanan rakyat kecil terhadap kemiskinan. Luar biasa! Merekalah pahlawan pembangunan yang sebenarnya!Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi memperhatikan dan membela kemampuan mereka, menciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka, mereka adalah harapan kita untuk menjadi kekuatan ekonomi bangsa.Tata Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini masih meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu, yang sama-sama menerapkan keunggulan Daulat Pemerintah di atas Daulat Rakyat, dan juga sama-sama menerapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika, dengan sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika bangsa, bahkan malah mendorong para kuasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupannya.
Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari Pancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang Madura, pembunuhan terhadap Marsinah, Udin, Munir, dan pembunuhan-pembunuhan yang lain lagi.Para buruh Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan diharu biru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan, tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan.Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untuk melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan olah limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak kepada kepentingan majikan pabrik.Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada implementasinya di dalam undang-undang pelaksanaan. KUHP, yang berlaku adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tidak punya dasar etika.Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka, karena Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum diremehkan, maka hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotnya etika bangsa.Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan memperbaiki kenyataan adanya gap antara ius dan lex, maka “Kalatida” akan berlaku berkepanjangan dan masuklah kita ke alam “Kalabendu”. Ah, gejala-gejala bahkan menujukkan bahwa “Kalabendu” sudah menjadi kenyataan. Inilah jaman kacau nilai, jaman kejahatan menang, penjahat dipuja, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Pepatah “mikul duwur mendem jero” sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti makna menjadi: kalau anda berkuasa dan perkasa maka berdosa boleh saja!Hukum, perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal sehat, dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa, sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi. Jadi sangat penting segera para ahli hukum membahas dan meninjau kembali mutu kegunaan tata hukum dan tata negara Republik Indonesia dalam menyejahterakan kehidupan berbangsa.
Bahkan menurut DR. Sutanto Supiadi ahli tata negara dari Surabaya berpendapat, bahwa redesigning konstitusi sangat diperlukan. Kenyataan memang menunjukkan bahwa setiap ada amandemen untuk membatasi kekuasaan presiden, tidak menghasilkan daulat rakyat yang lebih nyata, melainkan hanya menghasilkan daulat partai-partai yang lebih kuat.Bahkan, dalam proklamasi kemerdekaan dan UUD’45 yang asli, wilayah Republik Indonesia itu jelas ditunjukkan. Lalu pada amandemen ke empat, disebutkan munculnya pasal 25a, yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.Tidak ada perkataan maritim di dalam rumusan itu. Nama negara pun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan. Jadi lebih tepat kalau nama negara kita adalah Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.Negara kita adalah negara satu-satunya di dunia yang memiliki laut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi negara kita mempunyai Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Namun toh ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan. Inikah mental petani?Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard”, padahal ini persyaratan Internasional, agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan kita, maka kita harus mempunyai “Sea and Coast Guard”. Dunia International tidak mengakui Polisi Laut dan Angkatan Laut sebagai pengamanan laut di saat damai. Angkatan Laut, Polisi Laut itu dianggap alat perang.
Jadi apa sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” yang berguna bagi negara dan bangsa? Apakah ini menyinggung kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau memang ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak akan kurang akal untuk mencari “win-win solution”.Dalam soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan, pendirian beberapa mercu suar lagi, dan mengumumkan claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas wilayah negara kita, teutama yang menyangkut wilayah di laut. Sudah saatnya pula lembaga inteligent kita mempunyai direktorat maritim.Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, disegenap bidang, mencakup pengertian “Tanah Air”, dan tidak sekedar “Tanah” saja.Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai “Negara Pelabuhan” yang dipimpin oleh “Syahbandar” yang berijasah international. Kemudian segera pula dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, maka negara kita tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka!Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untuk pertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Nederlans Indie, dan sifat kedaulatannya negara maritim dengan batas-batas dan mercusuar-mercusuar yang jelas petanya.Jadi Van Der Capllen tidak sekedar mengandalkan kekuatan angkatan laut untuk merpersatukan Nusantara, melainkan, alat politik untuk meyatukan Nusantara adalah tata hukum dan ketatanegaraan maritim.Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan menteri luar negari Mochtar Kusumaatmaja, yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia Internasional, sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harus tanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita mampu mengimplementasikan semua peraturan kelautan internasional yang telah kita ratifikasi. Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijasah internasional untuk syahbandar dan nahkoda, belum juga mendapatkan ijin dari Departement Pendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.Tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang sableng seperti tersebut di atas itulah yang mendorong lahirnya “Kalatida” dan “Kalabendu” di negara kita.Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap waspada, tidak mengkompromikan akal sehal. Dan juga harus sabar tawakal. Adapun “Kalasuba” pasti datang bersama dengan ratu adil.Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya “Kalasuba”. Pertama, “Kalasuba” pasti akan tiba karena dalam setiap chaos secara “build-in” ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani, sosial, rohani, intelektual dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan, bahwa setelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu di tempat lain dan di saat lain.Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekedar sabar dan tawakal. Tetapi toh kita tidak menghendaki “Kalasuba” yang dikuasai oleh diktator. Tidak pula yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta bangsa. Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil, tetapi tergantung pada Hukum yang Adil, Mandiri, dan Terkawal.

Minggu, 16 Maret 2008

Who governs..?

Bagaimana ini kok kasus BLBI malah mau di peti es-kan..? Lha pantes.., wong jaksa nya saja sudah disuapin duit miliaran.. Itu yang baru ketahuan. Belum yg plus lain lain. Haa..., saya jadi ingat monolog nya mas Butet tentang Sarimin. Dimana nasib nya tukang topeng monyet yg nemukan dompet pak jaksa (atau hakim).., kemudian lapor ke polisi utk ngembalikan itu dompet, malah dituduh mencuri dan akhirnya dihukum. Itu gambaran betapa terhormatnya seorang aparat hukum, sehingga mengorbankan nasib seorang Sarimin yg berniat baik.

Bagaimana ini pemerintah malah seolah nutup mata dan tak punya nyali utk mengusut kasus ini. Apa nggak bisa nemukan bukti lagi..? Biasanya pemerintah kan bisa aja nemukan bukti bukti lain. Entah dengan cara bagaimana., entah di ada-ada kan atau di manipulasi. Itu cerita umum di masyarakat yang tertekan dalam sistem yg tidak transparan. Banyak kasus yg sepertinya pemerintah sdh menyerah kalo melibatkan pejabat atau penguasa. Apa pemerintah kalah pintar dengan para tersangka. Apa negeri ini tak ada orang pintar lagi yg bisa membuat pemerintah punya "ilmu" dan nyali utk berhadapan dengan pecundang2 tadi ??

Soal pecundang, sy jg ingat nasehat seseorang pd saya waktu dia tahu saya kerja dlm struktur pemerintahan. Pesannya hanya satu : "tolong anda jangan jadi bajingan yaa.." Ini sangat berkesan bg saya, krn dia adalah mantan org pemerintahan jg yg tdk tahan melihat lingkungan penyamun tadi. Insya Allah saya berusaha tdk menjadi bajingan tadi, pak..

Kembali ke soal BLBI... He.. saudara2 saya yg pny kewenangan mengurusi soal ini.., bgmn apa anda tidak merasakan betapa negeri ini hancur salah satunya karena ulah penyamun2 tadi. Betapa uang 6 milyar (yg sdh tertangkap) tadi sangat-sangat berarti bagi rakyat kecil.., bagi korban penggusuran.., bagi masyarakat sekitar Lapindo.., atau bagi Sarimin-sarimin yang lain.. Mungkin anda yg terima milyaran tadi memang tidak terpengaruh apapun. Malah anda tambah kaya di atas beban masyarakat. Tapi coba bila anda berada di pihak rakyat kecil atau menjadi sarimin tadi..

Kalo kondisi negara kita sdh dikuasiai kepentingan pribadi pihak yang berwenang.., saya kira kita sdh pantas mengatakan bhw hukum besi oligarkhi- nya Robert Michels sangat relevan dengan kondisi kita. Bahwa organisasi 2 yg semula diirikan scr demokratis, begitu besar cenderung menjadi tidak demokratis.—adanya konsentrasi kekuasaan pd sekelompok elit.--- juga dr asumsi bhw politik adl upaya utk memperoleh, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan.

Banyak lagi pertanyaan tentang bagaimana-bagaimana dan bagaimana yang isinya mempertanyakan keadilan dan di pihak mana pemerintah kita sebenarnya sedang berpihak ? Serta siapa sih pemerintah kita ?? Jangan-jangan dia adalah sosok bajingan juga? Atau sosok seperti monyet dalam kisah Sarimin, yang dengan gampang di suruh kesana-kesini, begini dan begitu oleh "majikan pemerintah" untuk kepuasan dan keinginan "majikan" tadi ? Ahh., semoga saya dan anda tidak ikut-ikutan pula jadi seorang pecundang atau bajingan.

Minggu, 24 Februari 2008

We're Nothing..

Apakah anda pernah berada di puncak suatu gunung..? Atau berada di ketinggian 2.300 m ke atas ..? Pernahkah anda merasa sangat keciilll... sekali saat berhadapan dengan keperkasaan alam..? Itulah yang saya maksudkan. Kita ini sangat kecill, tak ada artinya berhadapan dengan alam. Apalagi berhadapan dengan Sang Pencipta Alam. Kita sangat kecil.., hanya debu.., bahkan tak ada artinya.
Saat saya berada di puncak gunung.. (yang saya pernah adalah di sekitar Jateng - Yogya, maklum.., dana saya terbatas.. Entah di Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, atau Lawu yg sudah berpuluh2 kali..). Apa yang saya dapatkan adalah hikmah dan pelajaran menarik. Yang pasti saat ada di puncak., Subhanallahh....! Pemandangan yang sangat indah dan selalu mengundang saya untuk terus ke sana.. Kita berada di atas awan. Dinginnya angin akan menyentuh kulit kita.., dan saat sunrise.., keindahan panorama dari perpaduan cahaya matahari pagi dan sapuan awan terus berganti detik demi detik. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Juga terlalu cepat bila kita segera turun gunung lagi. Ahh.., it's so amazing.. Really.., we're on the top of the mountain !
Tapi maksud saya bukan itu saja. Pernahkah kita berpikir bagaimana kita bisa sampai ke puncak?? Makanan memang salah satu pendukung.., minuman atau vitamin juga begitu. Tapi yang paling penting adalah semangat hidup... Spirit of survival. Pernahkah anda nyasar berhari-hari padahal bekal yang anda bawa hanya ckp untuk sehari saja ? Itu saya alami waktu nyasar di Sumbing waktu ngerayain ultah saya waktu muda dulu. (kawan2 Solo -Yogya yang msh ingat mgkn..) Nyasar sampai hutan2 yang ndak saya kenal., untung ada sungai, sekedar utk minum airnya oke juga. Lebih dari air aqua malahan. Kalo makan cukup daun yang ada, asal kira2 ndak beracun juga oke utk ngganjel perut. (Mgkn perang gerilya spt ini kali ya..). Coba.., kita letih berhari2, meski makan dan minum seadanya, tapi kalo ndak ada semangat hidup ya percuma... Ada kawan yang bekalnya banyak tapi ndak ada semangat kuat ya malah ambruk di tengah jalan. Paling saya support aja ' Ayo.., kamu bisa..'
Satu bukit terlampaui.., ternyata yang kita kira paling atas..ee.., ternyata ada lagi yang lebih atas. Kami mengira bhw kami sdh yang paling atas.., ternyata ada yang lebih atas lagi. Begitu seterusnya.... Seperti yg kita alami dalam hidup.., ternyata msh banyak yg lebih atas daripada kita. Mengingatkan kita utk tidak sombong.
Setelah akhirnya sampai puncak beneran.., kami bergumam. "Allahu Akbar.., Subhanallah..". Selepas solat subuh di puncak.., hati saya bergetar... Bener.! Begitu indahnya alam.., begitu perkasanya dia. Kami sangat kecil.., kami sangat lemah..., dan tidak pantas utk menyombongkan diri dimanapun kita berada. Baik di tengah keperkasaan alam, maupun di tengah masyarakat. Dan yang seharusnya kami lakukan adalah taat pada Nya. Pada yang menciptakan semua keindahan dan keperkasaan alam ini.. Bukan meng explitasi nya habis-habisan. Bodoh dan serakah itu namanya ! Kalo dah serakah begitu.., ya sdh tinggal tunggu kehancuran manusia..
Banyak rahasia Allah yang kami belum tahu. Dan mgkn tidak bakalan bisa tahu. Sebab manusia mmg sering bertindak bodoh dan membodohi diri sendiri... Kita hanyalah setitik debu. We're dust in the wind. NOTHING !

Kamis, 21 Februari 2008

Time to do rock n'roll !

Kehidupan adalah suatu konsep yang tak bisa kita atur dan karang seperti apa yang kita mau. Dia tak bisa diceritakan lewat ceramah para ahli dan ulama. Hidup adalah sesuatu yang mengalir begitu saja. Dan kita tak pernah tahu kenapa sekarang bisa seperti ini di tempat ini .. Sesuatu yang dulu mungkin tidak pernah kita pikirkan untuk menjadi seperti sekarang.

Konsep air mengalir mungkin terasa lemah bila kita ikuti. Mungkin.. Namun bukan berarti air tak memiliki power. Itu pasti ! Namun masyarakat yang hanya mengandalkan arus air pasti akan binasa dilanda alirannya. Kita mesti punya mimpi yang tinggi dan indah.., meski kita hidup sebagai kere.. Tak apa. Bukankah kere yang hanya bisa melihat barang mahal di toko lewat etalasenya suatu saat akan menjadi ancaman bagi masyarakat kaya yang mampu beli barang mahal di toko, atau makan enak di KFC. Suatu saat bisa jadi si kere akan menikam anda di jalanan. Sebab mungkin dengan cara seperti itulah dia bisa mewujudkan mimpinya.

Bukan apa.. saya tidak memprovokasi anda untuk anti kapitalis atau anti pemerintah. Wong saya juga orang pemerintahan dan kadang makan di KFC juga. Tapi itulah bodohnya kita. Anda tahu konsep Hegemonik strukturalnya Antonio Gramsci..? Ya itulah.., kita ndak sadar dan secara sukarela menyerahkan uang kita untuk memperbesar kapitalisme internasional di Ind. Dan kita menikmati itu semua. Lebih enak daripada makan di Ninit atau mbok Berek misalnya.

Sudah itu.., apa yang kita mauii dalam hidup ini ? Sudah kerja, sudah keluarga, sudah kumpluk-kumpluk duit sedikit demi sedikit.. so what next ? Apa hidup sudah selesai dan mapan ? Kalau anda merasa sudah selesai, ya sudah anda siap mati saja.

Kenapa anda nggak lihat sekeliling.., ndak liat kere-kere di jalanan.., yang siap menikam anda kalau anda masih ndak mau nengok mereka. Ahh.., mungkin ngurusi kere mmg bukan tugas kita. Lha wong sdh ada pemerintah to? Itulah akhirnya kita nanya he pemerintah .., gimana to anda dipercaya rakyat dan sudah berpuluh tahun merdeka kok masih kayak belum merdeka.., dan malah dijajah dalam bentuk baru, lewat konsep globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Dan anda seperti tak ada nyali untuk say go to hell !

Jadi pada siapa lagi kami mesti bisa percaya dan ngadu soal negara ini..? Sama pemerintah jelas seperti angin lalu.., Mereka ndak berani. Saya sendiri sebagai bagian dr pemthan ndak cukup pengaruh dlm decision making. Maunya tutup mata-telinga-hati.., bullshit soal politik ! Maunya ndak perlu ngurusi soal serius seperti itu. Maunya hidup santai dan bebas seperti dulu., naik gunung.., travelling..., atau begadang di jalanan. Tapi itu dah masa lalu.. Dan itu ndak bisa selamanya benar sekarang. Eitt, tapi energi dan nuansa muda itu yang masih sangat perlu. Dan itu sangat kami harapkan dari kawan-kawan muda atau yang masih bersemangat muda. Termasuk harapan akan perbaikan dan kesadaran kita ttg konsep dan bentuk keterjajahan kita. Beranikah anda (dan kita semua) masuk 'jurang kebobrokan yang terlalu dalam ini .."

Sebagai bagian dari sistem pemthan.., saya mmg tidak bisa sepenuhnya berharap banyak bhw saya bisa mmenangani. Namun Insya Allah dari hal2 kecil yg bisa saya lakukan semoga bisa.., dan semoga saya tabah. Dalam hati.., saya masih anti kemapanan.., sebab itu yg kadang menyemgsarakan kita.., menyangka bhwa evrything has been all right. Seperti jaman orba dulu..
So.., c'mon man.., it's time to do rock n' roll !